Thursday, May 5, 2011

celoteh lena (positif)


“Sayang, kamu udah pulang?, pasti cape banget. Itu, aku udah buatin teh manis anget di atas meja, makanannya di tempat biasa”.

"Masak apa hari ini?", ridho suami lena menyambut, dan lena menyalami tangan suaminya. Bagi lena menyalami tangan suami adalah sebuah bentuk penghormatan terhadap laki-laki.

“Aku masak sup ayam sama tempe goreng, kamu mandi dulu sana, baru makan sambil nonton tv, ok!”

Kurang lebih begitulah setiap hari lena meladeni suaminya. Setelah makan malam, tiada lagi percakapan, ridho cepat sekali pulas disampingnya. Seperti hari-hari lain, lena beranjak mematikan lampu dan memeriksa keadaan rumah, sebelum akhirnya ikut merebahkan diri di samping suaminya.

"Sebenarnya hari ini aku mau cerita sama mas ridho, tapi dia udah tidur. besok pagi aja deh", guman lena dalam hati.

Pagi harinya lena tak sempat bercerita, mereka bangun kesiangan, sementara ridho harus bergegas menuju kantor. Lena menggenggam testpack dan amplop  putih pemberian dokter chandra kemarin. Amplop itu masih terkunci rapat, dokter melarang lena membukanya.
"Ah mas ridho, aku kan mau cerita kalau aku positif, pake acara kesiangan segala sih. Pokoknya malam ini aku harus cerita, ngga peduli meski harus teriak-teriak depan pintu kamar mandi, itung-itung nemenin mas ridho mandi”.


Dan tibalah saat yang dinanti, lena tak menyia-nyiakan waktu yang demikian tipisnya, ia meluncur mengikuti suaminya ke ruang belakang. “Mas, aku tuh mau cerita dari kemarin, tapi kamu udah keburu tidur duluan, trus tadi pagi kesiangan, jadi ketunda deh sampai sekarang”. Ridho melenggang masuk ke dalam toilet, berlalu mengamit handuk dan meletakkan seragam-seragam kerjanya di balik pintu. "Emang kamu mau cerita apa? kan bisa sms kalau penting, tapi jangan telpon takutnya aku lagi meeting". “Iyaa..iya aku tahu, lagian juga kalo sms mas jarang dibales kok”, lena merajuk.

“Sama itu mas, aku tuh lagi mikir, kayanya nomorku yang simpati sama esia ada yang sadap deh, YM juga, trus email-email sama facebookku juga. Belum lagi nih kalau aku pergi, aku tuh ngerasa kaya ada yang ngikutin aku, kalau udah, orang yang mbuntutin aku itu nulis gerak-gerikku deh, aku suka baca di status facebook temen-temenku, kurasa mereka juga di hack. Hmm..aku sih feeling aja, tapi aku punya bukti kok”. Belum selesai lena bercerita, suaminya sudah keluar dari kamar mandi, ia mengenakan selembar handuk warna hijau, lena mengekor di belakangnya.

"Ah kamu itu terlalu macam-macam pikirannya, dibiarkan saja, agar tidak menjadi beban, masih banyak hal lain yang lebih penting", ridho mengomentari. “Tuh kan kamu ngga percaya sama aku, makanya aku suka males kalo ngebahas ini. Emang ngga bisa ya kalau nomor kita disadap?”.
"Ya bisa aja, tapi biasanya orangnya kenal sama operator provider telponnya, atau bisa jadi dia memang bekerja di salah satu provider itu, tapi buat apa juga sih nyadap kamu?!".

“Mana aku tahu, namanya juga orang jahat, atau bisa juga cemburu, bener kan mas? atooo…ah tau ah! Eh iya, kalo misal bayar operatornya bisa ga?, nyogok gitu?”.

"Ya bisa juga", kali ini ridho sedikit menaikkan nada bicara. Lena tertunduk takut, dahi dan bibirnya mengernyit. Memang bukan kali ini saja lena menjejalkan kalimat serupa, tentang apa yang dirasakannya.


"Jadi tadi kamu mau cerita apa?, aku sambil makan ya", ridho menyendok nasi dan jarinya asik memainkan remote televisi. “Itu mas, kemarin kan aku ke halim, trus aku ke tempat dokter chandra, katanya dia mau kasih aku referensi buat cek keadaanku”.

"Trus gimana hasilnya?". Lena kembali menjelaskan; “kata dokternya aku positif”. "Maksudnya kamu hamil?", ridho terkejut. “Iyaa..tapi kamu dengerin aku dulu, kamu sukanya motong omonganku sih, kan aku disuruh ngisi pertanyaan di lembar-lembar kertas gitu, banyak banget pertanyaannya, sampai aku bingung gitu deh, cuma kata susternya harus dijawab semua biar ketahuan hasilnya, kan aku jadi tambah bingung ya. Trus aku tanya sama susternya, bukannya kalau mau periksa kehamilan itu harus test urine sus?, kok ini disuruh jawab pertanyaan sih, aku jadi bingung nih sus, mana pertanyaannya mubeng-mubeng gini, marai mumet ah. Trus kata susternya; "pesan dokter chandra tadi, ibu harus isi semua". Aneh kan mas?, ngga nyambung gitu loh jawabannya, maksudku apa hubungannya jawab pertanyaan segambreng, sama test urine, ketambahan lagi kata dokter chandra, lena menirukan dialek suster."

“Payah deh susternya, sekolahnya tiarap kali ya, namanya juga sekolah di angkatan udara gitu”, lena tersenyum genit sambil memijat-mijat kaki ridho.”Ya udah sih aku kerjain semua sampai selesai, trus aku ketemu sama dokternya, kata om chandra dia itu pinter, mana lama banget nunggu hasilnya keluar. Kata dokternya gini; ‘wah ibu positif nih’. Cuma aku kan ngga langsung seneng, aku bilang aja, yang bener dok, mana buktinya?!, test urine aja belum, masa cuma jawab pertanyaan kaya gitu bisa tau kalo saya positif, ngawur aja!. Begini dok, kan tadi saya udah bilang sama om saya; dokter chandra, kalau saya mau periksa kehamilan bukannya mau jawab pertanyaan-pertanyaan aneh gitu, soalnya saya udah telat haid selama15 hari, biasanya haid saya rutin. Habis itu dokternya ngoceh lagi deh kaya beo, "begini bu, maksud saya ibu positif menderita
Skizofrenia Paranoid". Nah, gimana aku ngga makin bingung coba?, dalam hatiku, ngemeng aja lo sama tembok, lama beneerr. Aseli lama banget tau mas nunggunya, masa’ kan aku datang jam delapan pagi sampai jam setengah tiga sore ngga kelar-kelar. Kujawab aja sambil cemberut, apaan tuh dok? Penyakit kelamin apa penyakit kulit ya? Eeeh aku tanya gitu dia malah senyum-senyum ga jelas, trus nyuruh aku nemuin dokter chandra lagi.”


Ridho membisu, ditatapinya lena, matanya berkaca-kaca, seolah ia sudah mengetahui apa yang terjadi. Lemah sekali jawabannya; “lena, lalu apa kata dokter chandra tadi?”. Lena mengeluarkan amplop putih dari dalam tasnya berikut testpack bergaris merah satu. “Tadi aku maksa minta test urine sama om chandra, aku nangis aja biar dibolehin, habisnya aku penasaran banget sih. Tapi akhirnya dibolehin juga hehe.. emang om chandra Te-O-Pe Be-Ge-Te deh. Nih mas, tapi aku masih bingung deh, kok hasilnya garis merah satu ya? Mestinya kan garis merah dua kalau aku positif.”


“Mas..maasss!”, lena membentak suaminya yang tertunduk bisu. “Duuh kamu dari tadi diem aja sih, aku kan nanya”, lena melempar pandang ke arah suaminya, diperjelas lagi pandangannya, barangkali temaram lampu membius matanya, hingga ia kesulitan membedakan mana air mata dan mana keringat.

Lena kebingungan memandangi suaminya, “loh mas kamu kok nangis sih?, emang isi amplopnya apa? Aku belum buka, soalnya kata om chandra aku ngga boleh tahu isinya, rahasia laki-laki hehehehe… bisa aja deh si dokter ganteng. Tapi kamu kenapa nangis sih? Hmm.. aku tahuuu, pasti kamu nangis karena seneng ya aku positif? Aku juga seneng kok, akhirnya bisa juga aku kasih kamu keturunan, itu kan cita-citaku buat nebus kesalahanku karena dulu aku pernah jahatin kamu, trus aku juga tahu kalo kamu sebenernya sayang sama aku. Selain itu kamu juga pengen banget kan kalo aku jadi ibu dari anak-anakmu nanti?!. Kamu emang beda deh sama pepep dulu, kalo dia ngga suka aku hamil, makanya dia suka jahatin aku, trus dia bunuh anakku deh”. Sejadi-jadinya lena meracau, jari-jari tangannya direnggangkan satu per satu, lalu bibirnya menghitung dalam dengung yang amat lirih, satu..dua..tiga.., bener deh ada tiga, “kok jariku ada tiga sih mas?”, lena mengeraskan dengungannya. Ridho menatapnya dalam, tatapan iba dan RAHASIA.

“Jadi tadi pesan om chandra, aku disuruh merawat kehamilanku di asrama, biar ada yang jagain aku, karena kamu sibuk kerja juga. Ngga papa ya aku tinggal di asrama sementara waktu ini? Kan kamu jarang di rumah, biar bayinya sehat, kandunganku kan lemah pasca operasi pengangkatan ovarii, aku takut keguguran lagi.
Trus besok kamu disuruh ke RS sama om chandra. Katanya sih disuruh tanda tangan persetujuan perawatanku, sampai aku sembuh. Mungkin maksudnya sampai aku melahirkan kali mas.”


-----------
Malam melarut, sendu dan syahdu, bagi lena ini malam terakhir bersama ridho, sebelum bayinya dilahirkan. Lena memeluk suaminya yang masih mematung, dan ridho meremas-remas jari lena, air matanya berjatuhan di pundak sang istri.


Selamat apa saja, merdeka!